![]() |
Mantan Komisioner KPK, Chandra Hamzah. |
JAKARTA, Kabar7.ID – Penjual pecel lele di trotoar disebut bisa terjerat Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Hal itu dikatakan Ahli Hukum, Chandra M Hamzah dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pengujian materiil UU Tipikor Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001, pada Rabu, 18 Juni 2025.
Agenda sidang itu mendengar keterangan DPR serta keterangan Ahli dan Saksi Pemohon Perkara Nomor 142/PUU-XXII/2024.
Dilansir dari laman MK, sidang tersebut mengujikan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor yang pada pokoknya berisi ketentuan yang menjerat perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian negara dan menguntungkan pihak tertentu.
Menurut Chandra, Pasal 2 ayat (1) berbunyi, “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta, dan paling banyak Rp 1 milyar”.
Serta pada Pasal 3 UU Tipikor berbunyi, “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50 juta, dan paling banyak Rp 1 milyar”.
Menurutnya, kedua Pasal tersebut menimbulkan problematik.
Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Periode 2007-2009 itu juga mengatakan, tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas atau bersifat ambigu maupun tidak boleh ditafsirkan secara analogi sehingga tidak melanggar asas lex certa maupun lex stricta.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, kata dia, maka penjual pecel lele di trotoar juga dapat dikenakan sanksi tersebut.
Sebab kata dia, penjual pecel lele di trotoar termasuk “setiap orang” yang melakukan perbuatan “melawan hukum” dengan berjualan di atas trotoar yang seharusnya digunakan pejalan kaki, kemudian penjual pecel lele juga bisa dikatakan mencari keuntungan atau “memperkaya diri sendiri” dengan berjualan di trotoar yang membuat fasilitas publik milik negara itu rusak sehingga dapat dianggap pula “merugikan keuangan negara”.
“Maka penjual pecel lele adalah bisa dikategorikan, diklasifikasikan melakukan tindak pidana korupsi, ada perbuatan, memperkaya diri sendiri, ada melawan hukum, menguntungkan diri sendiri atau orang lain, merugikan keuangan negara,” ujar Chandra di Ruang Sidang Pleno MK.
Sementara itu, sambungnya, Pasal 3 UU Tipikor pun memuat frasa “setiap orang” yang dapat mengingkari esensi dari korupsi itu sendiri. Sebab, tidak setiap orang memiliki kekuasaan yang cenderung korup.
Padahal juga, ketentuan ini telah menegaskan adanya jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
“Kesimpulannya adalah Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tipikor kalau saya berpendapat untuk dihapuskan karena rumusannya melanggar asas lex certa, perbuatan apa yang dinyatakan sebagai korupsi. Kemudian yang kedua, merevisi Pasal 3 Undang-Undang Tipikor dengan mengganti, menyesuaikan dengan Article 19 UNCAC yang sudah kita jadikan norma, ‘Setiap Orang’ diganti dengan ‘Pegawai Negeri’ dan ‘Penyelenggara Negara’ karena itu memang ditujukan untuk Pegawai Negeri dan kemudian menghilangkan frasa ‘yang dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara’ sebagaimana rekomendasi UNCAC,” tuturnya. (*/red)
« Prev Post
Next Post »